Bagian 7. Biru Tua





Bagian 7.  

Aku ambil gelas berisi air mineral di dekat tempat dudukku dan meneguknya. Selama sesi konsultasi dengan psikolog, aku terlalu serius menyimak hingga tak sempat minum seteguk air.

Aah, lega sekali.

Rasa lega yang sama setelah aku bercerita tentang apa yang membuat pikiranku penuh beberapa hari belakangan. Bercerita ibarat membuka sumbatan-sumbatan yang selama ini menumpuk di kepalaku. Wajahku tersenyum karena kepalaku terasa lebih ringan.

Suasana kantor semakin sepi. Jam menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit. Aku bersiap untuk pulang.

***

Begitu tiba di rumah, aku mendapati suamiku sudah sampai lebih awal dan sedang mendampingi Nino mengerjakan PR. Aku memberikan senyum terbaikku kepada keduanya.

“Gitu dong, Ma. Kalau pulang kantor senyum kan enak dilihatnya.” Ucap Nino.

“Biasanya juga Mama senyum, kok.” Aku merespon sambil melebarkan senyumku.

“Udah lebih lega ya, my love?” Tanya suamiku berbisik.

“Alhamdulillah. Tadi aku habis sesi dengan psikolog. Lumayan banget bikin lega.”

“Sip kalau gitu. Ya sudah kamu mandi dulu sana. Nanti aku mau cerita.”

“Oke.”

***

Setelah Nino tidur, aku dan suami menuju kamar kami. Hatiku campur aduk mendengar cerita suamiku. Rupanya, karirnya sedang di ujung tanduk. Ia terancam diberhentikan kantor karena kelalaiannya memastikan suatu program yang akan di audit oleh pemerintah.

“Aku nahan mau cerita ini karena beberapa minggu terakhir kan kamu juga lagi uring-uringan karena kerjaan kantor.” Ia menjelaskan.

Aku kesulitan menelan ludah. Bayangan gelap berwarna biru tua hadir beserta tayangan akan sikapku di hari-hari belakangan. Aku benar-benar menunjukkan bahwa aku tidak terlalu memperhatikan suamiku. Aku terlalu sibuk marah-marah seolah masalahku adalah masalah terberat sedunia. Padahal, orang di hadapanku sedang punya masalah juga. Sang suami ternyata sedang tidak baik-baik saja. Bukan hanya aku yang secara mental bermasalah, rupanya suamiku juga.

“Makasih ya udah mau cerita sama aku. Maafin kemarin-kemarin aku terlalu sibuk sama masalahku sendiri.” Ujarku di akhir pembicaraan.

“Nggak apa-apa, kok. Kamu gimana tau aku terancam di PHK?”

“Ya menurutku masih ada jalan keluar. Insya allah nggak akan di PHK.”

“Makasih ya udah percaya sama aku, my love. Firasatmu biasanya benar.”

“Aamiin. Kita berdoa yang kuat ya minta bantuan Allah ta’ala.” Responku.

 

Dari kejadianku ini, terlihat aku yang lebih ekspresif menunjukkan rasa emosiku sementara suamiku cenderung menahan dan menunggu waktu yang tepat untuk menumpahkan semuanya. Pria dan Wanita berbeda dalam menangani masalah psikologisnya. Aku meneguk segelas air untuk melepas dahaga dan menghayati air yang mengalir ke seluruh tubuh membuatku lebih memikirkan dan merasakan apa yang ada saat ini, “here and now”.

 

---bersambung---

 

 

#Writober2021

#RBMIPJakarta

#minum

#cerpen

#BulanKesehatanMental

 

Comments

Popular posts from this blog

Janji Surya

Bagian 1. Abu Muda