Bagian 3. Hitam

 


Bagian 3.

Aku mengendarai mobil dengan kecepatan 80 km/jam. Tangan kanan dan kiriku memegang setir mobil. Ada pensil alis yang kusisipkan di tangan kiriku. Begitu lampu merah, aku mengambil pensil alis dan menggunakannya untuk merapikan alis. Selesai membentuk alis, aku taruh pensil alis itu ke dalam tas make up. Aku merogoh ke dalam tas tersebut untuk mengambil lipstick. Lampu Hijau sudah menyala, aku belum juga menemukan lipstick yang ku maksud. Terpaksa aku melajukan kembali mobilku. Sepanjang perjalanan, tangan kananku memegang setir dengan kuat sementara tangan kiriku masih berusaha merogoh ke dalam tas make up untuk mencari lipstick. Begitu tangan kiri sudah memegang sebuah benda berbentuk tabung, jempol kiriku bergerak untuk memastikan teksturnya sudah benar. Aku angkat tangan kiri beserta benda yang tergenggam di sana, begitu aku menoleh ke kiri, rupanya yang ku ambil adalah mascara. Aku kaget dan spontan menginjak rem mobil sambil banting setir ke kiri. Ketika itu juga ada motor dari arah kiri melaju kencang.

Brak! Tabrakan beruntun! 

Pengemudi motor terlempar. Beberapa motor di belakangnya terjatuh. Aku menepi dan segera keluar mobil. Ada bercak darah menempel di dekat roda motor belakang. Kaki pengemudi motor itu terhimpit motornya sendiri. Orang-orang mengerubungiku dan mencaci maki. Aku merasa duniaku seketika hitam, gelap.



“Nyetir tuh pakai mata dong!” Teriak satu orang.

“Dasar perempuan! Nyetir aja enggak becus” Teriak orang yang lain.

“Ini pembunuhnya!” Teriak orang lain lagi sambil menunjuk ke arahku.

“Pembunuh … Pembunuh … Pembunuh …” Suaranya begitu keras. Mereka semua mendekatiku. Aku merasa sesak napas.

Hitam dan gelap.

 

***

My love, bangun. Kamu mimpi buruk?”

Aku terbangun dengan kondisi berkeringat lalu menangis di pelukan suamiku. Waktu menunjukkan pukul 03.30 WIB.

“Istighfar. Minum air dulu nih.” Ucap suamiku sambil memberikan tumbler yang ada di meja nakas.

Aku meneguk air putih sebanyak tiga kali.

Astaghfirullahaladzim.

“Tidur lagi deh, masih ada waktu.” Kata suamiku.

“Iya, Mas. Makasih ya.”

Aku menghadapkan tubuhku ke kanan sambil memeluk guling. Aku lihat meja rias dengan alat-alat make-up ku di sana. Mimpiku terasa konyol sekali karena dandan di mobil membuat beberapa orang meninggal dunia.

Astaghfirullahaladzim.

Aku berusaha tidur tetapi kenyataannya aku tetap terjaga. Aku pikir lebih baik aku bangun dan mulai menyiapkan sarapan untuk suami dan anakku. Di dapur, masih ada cucian piring yang semalam sengaja tidak aku cuci. Wadah nasi direndam agar kerak nasi lebih lembut ketika harus dicuci.

Aku buka kulkas. Tidak banyak yang bisa diolah.

Sarapan cereal saja deh pagi ini, lebih praktis juga. Ucapku dalam hati.

Selesai mencuci wadah beras, aku kembali ke kamar.

Aku buka laptop untuk menyicil pekerjaan-pekerjaan kantor. Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi. Aku malah sibuk membaca email dan menyiapkan balasan-balasan email. Tiga puluh menit berlalu begitu saja dan aku tidak sempat menyicil pekerjaan kantor. Email yang masuk butuh dijawab dengan beberapa data sehingga membuatku terdistraksi dengan itu.

Azan subuh berkumandang. Aku membangunkan suami dan anakku untuk salat subuh berjamaah. Lima menit, sepuluh menit berlalu dan tidak ada pergerakan. Aku kesal dan merasa capek membangunkan mereka. Aku gedor pintu kamar secara keras dengan tiga kali hentakan. Suami dan anakku terbangun.

Nino berkata, ”Mama kok gedor gedor, biasanya kalau aku susah bangun, aku dikelitikin.” Ia bangun dengan raut muka tidak senang.

Aku tersentak.

Astaghfirullahaladzim.

Usai salat subuh, aku minta maaf karena tadi membangunkan dengan gedor-gedor pintu.

Suamiku mengajak kita semua berpelukan.

Aku merasa sedikit tenang dengan berpelukan bersama suami dan anakku.

“Hayoo, siapa yang mau mandi duluan?”

“Nino terakhir aja hari ini.”

“Bener nih?” Aku menggoda anakku yang selalu ingin apa-apa paling pertama.

“Iya, Ma.”

Lantas aku mandi, disusul suami dan anakku yang terakhir.

Begitu kami semua berkumpul di meja makan, aku berkata, “Pagi ini kita sarapan cereal ya.”

Nino menjawab, “Yaaah, kok ‘cereal” sih. Aku maunya nasi goreng.”

“Wah, enggak sempat kalau bikin nasi goreng, Mama harus masak nasi dulu. Enggak keburu.”’

“Ya udah aku enggak makan, ah.”

“Kok begitu sih, ya kalau mau kamu bikin nasi goreng aja sendiri!” Ujarku ketus kepada Nino.

Suasana pagi itu tidak menyenangkan. Nino makan dengan raut muka kesal. Aku merasa sedih karena hanya mampu menyediakan ‘cereal’ untuk sarapan keluarga pagi ini. Aku bukan ibu yang baik.

Suamiku seolah mengerti apa yang aku pikir dan aku rasakan.

Ia berkata, “Sarapan sereal ini seperti kalau kita sarapan di hotel, lho.”

“Ya, tapi kan ini bukan hotel.” Respon Nino tetap dengan wajah kesalnya.

Aku bangkit dari kursi makan dan meninggalkan suami dan anakku yang masih sarapan.

“Mama mau kemana?” tanya Nino.

“Mama mau siap-siap dulu, hari ini ada meeting pagi.” Jawabku singkat.

“Kenapa sih mama marah-marah.” Aku mendengar suara anakku bertanya kepada suamiku. Aku tidak mau mendengar pecakapan itu.

Aku menuju kamar untuk membuka laptop. Aku menyibukkan diri dengan menyicil pekerjaan kantor.

Tidak berapa lama, suamiku masuk ke kamar. “Aku pamit ke kantor dulu ya.”

“Iya, Mas. Hati-hati. Jangan lupa maskernya pakai double ya.”

“Kamu mau antar sampai garasi, nggak?”

“Nggak sempet, Mas. Aku ada meeting pagi.” Jawabku dengan wajah sedih.

“Ya udah nggak papa. Nanti biar aku yang tutup pintu pagar. Oh ya, Bibi kemarin datang, kan?”

“Datang kok, dia kemarin datangnya telat karena kakinya keseleo. Jadi ya aku bilang kerja sebisanya aja. Habis zuhur juga dia udah pulang lagi.”

“Ok deh, yaudah, Baik-baik ya di rumah.” Ujar suamiku sambil mengusap pundakku.

“Mas juga ya.” Jawabku sambil tersenyum.

 

***

Tidurku tidak nyenak karena mimpi buruk, Aku mudah marah, merasa uring-uringan, dan tidak sanggup memberi perhatian lebih kepada Nino. Emosi dalam diriku tembus ke luar. Aku sulit menutupinya. Suami dan anakku menyadari perubahan sikap ibunya ini. Keduanya tahu bahwa ibunya sedang tidak baik-baik saja.

Ya, aku sedang tidak baik-baik saja.

 

 

---bersambung---

 

#Writober2021

#RBMIPJakarta

#tembus

#cerpen

#BulanKesehatanMental

 


Comments

Popular posts from this blog

Janji Surya

Bagian 1. Abu Muda

Bagian 4. Kuning