Bagian 6. Hijau
Bagian 6.
freepik.com |
Aku menutup telepon dengan perasaan lega. Percakapan sore ini dengan psikolog membuatku belajar untuk memberi jeda bagi hidupku sendiri. Pesona yang dipancarkan psikolog melalui diskusi sore tadi mengajakku untuk lebih mengendalikan pikiran, bukan pikiran yang mengendalikanku. Psikolog bicara dengan tenang dan lembut, sesekali ia bertanya dengan pertanyaan yang membuatku berpikir jauh ke belakang tentang nilai-nilai yang aku yakini. Ia juga menyelipkan tawa agar aku tidak menjadikan masalah hidupku sebagai beban berat, melainkan perbekalan untuk jiwa yang lebih kuat.
Teknik Slow breathing yang ia ajarkan membantuku untuk menata pikiran yang penuh di kepalaku. Harusnya aku melakukan ini sebelum tidur, sesuai apa yang dipinta psikolog. Namun sesaat setelah telepon ditutup, aku tak sabar untuk langsung mempraktikannya.
Aku kunci
ruangan dan duduk membelakangi pintu. Dengan begitu, orang yang ingin masuk ke
ruanganku akan melihat bahwa aku sedang fokus dan tidak bisa diganggu. Aku
mengatur duduk agar nyaman dan memastikan punggungku bersandar serta kedua kakiku
menginjak lantai. Aku ambil napas melalui hidung dengan empat hitungan. Satu…
dua… tiga… empat… Aku tahan napasku selama empat hitungan. Satu… dua… tiga…
empat… Kemudian aku buang perlahan melalui hidung selama empat hitungan. Satu…
dua… tiga… empat… Aku beri jeda empat hitungan sebelum mulai putaran napas
berikutnya. Satu… dua… tiga… empat… Aku kembali mengambil napas dan mengulangi
seperti putaran sebelumnya hingga empat kali.
Perlahan
aku biarkan pikiranku hanya fokus terhadap satu demi satu hal yang lalu lalang di
kepala. Waktu seolah melambat. Aku mulai bisa mengambil kendali akan hidupku
secara utuh tanpa diinterupsi oleh pikiran lainnya. Kubiarkan napas
mengantarkan oksigen secara lambat agar kepala dapat berpikir lebih jernih dari
sebelumnya. Pepohonan hijau yang kulihat dari jendela ruanganku membawa angin
segar dan harapan. Aku melihat rencana aksi dan sumber daya yang bisa
membantuku melewati tuntutan pekerjaan ini.
Aku belum
tahu apakah ini akan berhasil atau tidak, tetapi setidaknya aku bisa melihat rencana yang
ku susun mampu menyukseskan program-program yang harus kulakukan. Sore ini, setidaknya aku merasa bisa mengendalikan pikiranku. Setidaknya aku tidak merasa buntu dan kusut yang berlebihan. Aku mulai bisa tersenyum, mengeluarkan aura positif dari dalam diri.
***
Begitu tiba di rumah, anakku menyapa dengan ceria. "Mama, PR ku tinggal satu pertanyaan lagi, dong."
"Wah alhamdulillah, gitu dong. Asik kan kalau PR sudah hampir selesai. Satu pertanyaan lagi kira-kira perlu Mama bantu?"
"Nggak usah, Mama nanti periksa aja ya." Teriak anakku.
"Ok, Mama sekarang mandi dulu ya."
"Siap, bos. Tumben Mama nggak marah-marah." Respon anakku.
"Ah, biasanya Mama juga nggak marah-marah, kok." Ujarku sambil tersenyum.
"Biasanya kalau PR ku belum selesai, mama ngoceh." Anakku berkata lagi.
"Ya iya kalau kamu suka tunda-tunda kerjain PR, mama kesel jadinya." Aku menimpali dengan santai.
"Kalau nggak marah-marah gini, Mama jadi lebih cantik. Mama lihat aja sendiri di kaca." Ledek anakku yang membuatku jadi ingin memandang wajahku sendiri di depan cermin.
Perasaan wajahku sama saja seperti sebelum-sebelumnya. Aku perhatikan lekat-lekat. Bedanya, tidak ada raut wajah yang berlipat-lipat ataupun alis yang hampir beradu satu dengan yang lainnya. Aku mengambil napas panjang sambil bercermin dan berkata dalam hati. Slow breathing... slow breathing.
---bersambung---
#Writober2021
#RBMIPJakarta
#pesona
#cerpen
#BulanKesehatanMental
Berarti dengan latihan bernafas secara perlahan itu bisa mengontrol emosi ya mbak?
ReplyDelete