Bagian 1. Abu Muda
Bagian 1.
“Hi Mbak, gimana kabarnya?” Ada
pesan muncul di layar ponselku melalui aplikasi whatsapp.
Deg. Perasaanku tidak enak. Seorang
pemimpin dari anak perusahaan tempatku bekerja menghubungiku. Saat itu waktu
menunjukkan pukul 16.10. Aku baru saja selesai salat asar.
“Alhamdulillah baik. Ibu
gimana kabarnya? Ada yang bisa dibantu?”
“Syukurlah Mbak kalau
baik-baik saja. Saya juga sehat. Saya mau info soal proyek yang waktu itu,
tentang organisasi. Itu enggak jadi dilakukan tahun depan, Mbak. Manajemen
minta proyeknya selesai di tahun ini juga. Minta bantuan banget dari kantor
pusat ya.”
“Oh, begitu. Wah mepet sekali
ya. Sepertinya enggak mungkin kekejar. Akhir tahun begini, paling waktu
efektifnya tidak sampai dua bulan ...” Spontan aku respon dengan mengetik cepat
sambil bola mataku berputar kesana kemari. Jari jempolku terpaku di atas tombol
send.
Aku tekan tombol back.
Semua pesan aku hapus. Rasanya
tidak elok aku merespon seperti itu. Pesanku mewakili bagaimana kantor pusat
merespon permintaan dari anak perusahaan. Aku harus meresponnya dengan baik.
Maka aku ketik ulang pesanku.
“Oh begitu, Bu. Terima kasih
informasinya. Saya akan sampaikan ke atasan perihal ini. Saya juga akan atur
meeting untuk membahas timeline sehingga kita sepakati bersama hal-hal
yang perlu dilakukan tim agar pesan dari manajemen bisa dicapai. Oh ya, PIC
dari Ibu nanti dengan siapakah karena butuh banyak data untuk mengerjakan
proyek tersebut?”
Aku tekan tombol send dengan
mantap.
“Nanti dengan Mbak Riri, ya.”
“Baik, Bu. Terima kasih.”
“Terima kasih juga, Mbak.
Salam untuk Ibumu ya.” Aku membalasnya dengan mengirimkan simbol senyum. Dalam hati aku
mantap untuk menyampaikan permintaan ini kepada atasanku, seseorang yang
dibilang “ibumu”. Kebetulan sore ini kami ada meeting.
Pukul 16.45 meeting
dimulai. Semua peserta hadir dari rumah masing-masing. Kantor kami masih
menerapkan kebijakan 100% karyawan Work From Home. Meeting yang
berlangsung sekitar tiga puluh menit tersebut menambah daftar to-do-list
di buku catatanku. Sebelum ditutup, aku berkata kepada atasanku, “Bu, sore ini
saya dapat kabar dari anak perusahaan bahwa mereka butuh dibantu untuk proyek
organisasi.”
“Apa keburu ya?” tanya bosku.
“Menurut saya kok terlalu
mepet ya. Apakah memungkinkan jika Ibu komunikasi dulu kepada manajemen anak
perusahaan tersebut untuk rencana proyeknya? Soalnya ini kalau saya hitung
rasanya tidak mungkin, Bu. Pertama membutuhkan banyak pihak untuk melengkapi
data yang dibutuhkan. Kemudian perlu ada wawancara dengan beberapa stakeholder.
Concern saya lebih karena ini akhir tahun sih, Bu. Manajemen juga pasti banyak
yang harus diselesaikan terkait pencapaian bisnis.”
Bosku merespon, “Iya juga,
sih.”
“Tapi menurutku masih bisa
kekejar kok. Kamu cc aku aja di setiap email-email ya. Nanti aku bantu dorong
juga agar data-datanya bisa segera mereka lengkapi.” Ia melanjutkan.
Duh! Ibu pasti enggak kebayang
detilnya untuk menjalankan proyek itu. Tiba-tiba perutku terasa mulas. Bibirku
seolah kelu. Aku menatap kalender yang sudah penuh dengan agenda-agenda sampai
akhir tahun. Jujur, untuk menyelesaikan yang sudah ada di kalenderku saja aku
merasa tidak sanggup. Dengan adanya tambahan proyek ini, perutku terasa
melilit.
Kamu bisa …
ayo … ayo … ayo … kamu pasti bisa!
Suara dalam pikiranku
menggema. Suara yang meyakinkan bahwa aku pasti bisa mencapainya. Suara yang kuharap bisa membahana mengisi pikiran dan perasaanku sehingga tindakanku terlihat begitu percaya diri. Aku sungguh berharap suara yang hadir menyemangatiku itu mampu membuatku pada akhirnya berhasil melakukannya.
Aku lihat semburat warna abu
muda di pelupuk mata. Konon katanya, warna abu muda bersifat menenangkan dan memberi
rasa aman untuk mereka yang berada dalam situasi kehidupan yang sulit.
Aku ambil pensil sambil
menatap kalender. Aku buka lembar demi lembar sambil menuliskan langkah aksi.
Menyelipkan aktivitas untuk proyek tambahan ini di atas bagan daily plan
yang ada di kalender saja sulit apalagi menjalaninya secara nyata.
Aku menarik napas panjang.
Kututup laptop di hadapanku. Di luar sudah gelap karena hari semakin sore. Aku
melangkah keluar kamar. Kulihat anakku sedang duduk sendiri mengerjakan tugas
sekolahnya. Ketika kuhampiri, ia bertanya, “Ma, ini bener ga jawabanku?”
Aku pandangi workbook-nya.
Kertas itu terlihat buram bagiku dan aku sulit konsentrasi untuk memeriksa PR
nya. Tanpa benar-benar memeriksanya, selintas saja aku langsung bilang. “Sudah
benar kok jawabannya.”
Lalu muncul notifikasi di
ponselku. Ada pesan dari Siska, sekretaris Ibu bos.
Hmm apa
lagi ini? Perasaan tadi baru aja selesai meeting. Ucapku
dalam hati.
“Mbak, kata Ibu launching produk Ruby-nya
dimajukan dua minggu lagi.”
Rasa melilit di perutku muncul
lagi.
Aku enggak
sanggup, Tuhan.
---bersambung---
#Writober2021
#RBMIPJakarta
#gema
#cerpen
#BulanKesehatanMental
Comments
Post a Comment
Hi,
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat ya tulisannya ^^