Bagian 5. Jingga

Bagian 5.

Foto : Freepic.com


Aku bangun tidur dengan pikiran kusut dan perasaan lelah. Entah kenapa aku tidak merasa segar dan kurang bersemangat. Meski demikian, aku tetap menjalankan rutinitas pagiku. Menyiapkan sarapan untuk suami dan anak, memasak nasi untuk santapan hari itu, dan aku juga sempat mencuci pakaian. Usai menekan tombol start yang ada di mesin cuci, aku segera mandi. Tak lama, aku dengar azan subuh berkumandang. Aku membangunkan suami dan anakku dengan mengetuk pintu kamar lalu bergerak menuju dapur untuk menyiapkan teh.  

“Jam berapa, Ma?” Tanya Nino setengah teriak.

“Sudah mau jam 5, Nak. Ayo kita salat subuh berjamaah.” Jawabku sambil mencuci piring.

Suami dan anakku mendekat. Mereka menggelar sajadah. Kami langsung salat berjamaah. Usai salat, aku mendengar suara dari mesin cuci yang menandakan proses mencucinya sudah selesai. Aku langsung menuju ruang jemuran untuk menjemur pakaian.

Waktu yang kubutuhkan sekitar 15 menit untuk menjemur pakaian. Setelahnya, aku berpakaian dan bersiap-siapa untuk ke kantor.

“Ma, aku sarapan duluan ya.” Nino berkata sambil mengetuk pintu kamarku.

“Iya. Buahnya dulu yang dimakan ya.” Ujarku.

Aku menyematkan jarum pentul di bawah dagu sambil memastikan kerudungku sudah terpasang dengan simetris. Setelahnya, aku ambil tas yang berisi laptop dan segera mengambil kunci mobil.

“Aku pamit duluan, ya.” Ucapkku pada suami yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Oke, hati-hati ya. Kamu sarapan dulu aja.” Respon suamiku.

“Nanti aja deh, belum lapar juga.” Jawabku buru-buru.

 

***

Lahan parkir gedung hanya berisi tiga mobil di lantai 3. Mobilku menggenapkannya menjadi empat mobil di lahan parkir. Aku buka ponsel dan mengirimkan pesan kepada biro psikolog yang kuketahui.

“Selamat pagi, apakah sore ini saya bisa konsultasi dengan Psikolog Nadia? Permasalahan yang saya alami adalah terlau banyak pikiran.”

Setelah klik tombol send, aku keluar mobil menuju ruanganku lalu  merapikan barang-barang yang tergeletak di atas meja.

Ada notifikasi dari ponsel yang muncul, yaitu pesan terkait Psikolog Nadia. “Halo selamat pagi, Psikolog Nadia hari ini bisa konsultasi pukul 15.30. Jika dalam waktu 15 menit dari waktu yang ditetapkan, klien tidak hadir, maka sesi konsultasi dianggap batal.”

Kujawab dengan tulisan “Baik, terima kasih.” Aku langsung masukkan jadwal sesi ini di kalender agar aku tidak melewatinya. Setelah itu, aku mengerjakan beberapa tugasku di kantor yang harus segera aku selesaikan. Begitu larutnya aku mengerjakan tugas kantor sampai-sampai aku dikejutkan oleh dering ponsel.

Nama asisten rumah tangga muncul di ponselku.

“Halo, gimana Bi?” Tanyaku buru-buru.

“Ini, Bu. Catering untuk Nino belum datang.” Aku terkejut sambil melihat jam. Rupanya sudah pukul 12.05 WIB.

“Oh, tunggu sebentar ya, saya mau hubungi pihak catering dulu.” Jawabku sambil menutup teleponnya.

Aku benar-benar lupa untuk menghubungi catering dan memastikan menu catering hari ini bisa di antar jam 11. Akibat kelalaianku ini, akhirnya anakku telat makan! Aku merasa kacau.

Setelah orang catering menyampaikan bahwa makanan akan segera dikirimkan, barulah aku merasa lebih tenang. Lalu aku ke kantin dan menikmati makan siangku di sana. Dalam situasi pandemi, kita tidak boleh makan berkumpul. Maka di sinilah aku sendiri, makan mie ayam di kantin dan menikmati es teh manis..

Selesai makan, aku kembali ke ruangan dan melanjutkan pekerjaanku hingga waktu untuk konsultasi dengan psikolog tiba.

***

“Halo.” Sapa Psikolog dengan suara ceria.

“Halo, Mbak.” Responku hati-hati.

“Saya panggil siapa, nih?”

“Panggil Ratih saja.” Jawabku singkat.

“Oke Mbak Ratih, jadi apa yang bisa saya bantu?”

“Ini, hmm … pikiran saya rasanya penuh sekali sampai saya bingung mau melakukan apa dulu.”

“Bisa diceritakan lebih lanjut sejak kapan merasa seperti ini?” Aku menjawab dengan lantang.

“Mbak Ratih anak ke berapa?”

“Bagaimana hubungan dengan orang tua?”

“Apa ada suatu pengalaman masa kecil yang berkesan?”

“Bagaimana hubungan dengan rekan di kantor?

Wah, Psikolog sudah menyiapkan pertanyaan banyak sekali. Dari diskusi singkat tersebut, Psikolog mengatakan bahwa aku sedang memiliki Automatic thought. Automatic thought adalah kondisi di mana pikiran kita muncul banyak hal secara otomatis. Pikiran ini dipengaruhi oleh mood seseorang. Untuk mengatasinya, saya diminta untuk melakukan teknik Slow breathing satu hari selama dua kali. Teknik slow breating ini akan membuat aliran darah ke otak berkurang sehingga otak kita lebih bisa mengatur hal-hal yang mau dilakukan secara satu per satu. Penelitian membuktikan bahwa jika hal ini dilakukan secara berhasil akan membuat bahagia jika dilakukan rutin dalam 14 hari.

Cahaya jingga dari balik ruanganku memberi semangat agar tak henti-hentinya setiap orang berupaya meraih apa yang diinginkan dalam hidup. Dengan demikian, kita bertumbuh menjadi individu yang lebih baik.

 

 

---bersambung---

 

 

#Writober2021

#RBMIPJakarta

#tumbuh

#cerpen

#BulanKesehatanMental

 

Comments

Popular posts from this blog

Janji Surya

Bagian 1. Abu Muda

Bagian 7. Biru Tua