Bagian 2. Abu Tua


Bagian 2.

Nasihat Ibu ketika aku kecil lalu lalang di pikiranku.

Suara sang Ibunda hadir memenuhi pikiran.

“Kamu itu anak pertama, nggak boleh cengeng.”

“Kamu itu contoh buat adik-adikmu, jadi kamu harus tunjukkan yang terbaik.”

“Ibu yakin kamu pasti bisa jadi yang terbaik. Kamu harus bisa mengalahkan keraguan dalam dirimu.”

“Mama kok bengong?” Pertanyaan anakku membuyarkan lamunanku.

“Mama lagi mikirin menu untuk makan malam. Kamu lagi mau makan apa?”

“Telor!” jawabnya bersemangat.

“Ok deh, mama buatkan telor sekalian untuk papa juga ya. Kamu mandi dulu, sudah hampir magrib.” Responku ke anak kelas 3 SD ini.

Aku hanya ceplok telur dan menaburkan bumbu kecap di atasnya. Aku kupas kulit ketimun dan memotongnya untuk teman makan malam.

Bertepatan dengan azan magrib berkumandang, suamiku pulang. Usai memarkirkan mobil di garasi, ia langsung masuk rumah.

“Sebentar dulu, Mas. Aku belum siapkan handuk dan pakaianmu di kamar mandi. Jangan masuk rumah dulu ya.” Ucapku setengah berteriak dari dalam rumah.

Aku menghidupkan air purifier di tengah ruangan. Kakiku melangkah untuk mengambil handuk dan pakaian suamiku. Usai meletakkannya di kamar mandi, aku baru membolehkannya masuk.

Anakku sudah dalam balutan pakaian tidur. Ia duduk di meja makan. “Aku makan duluan ya, Ma. Udah lapeerr.”

“Gimana kalau tunggu Papa selesai mandi? Mama juga mau mandi dulu nih kan baru selesai ceplok telor.”

“Terus aku sekarang ngapain?” tanya anakku.

“Main aja dulu ya, Kak.”

“Ya udah deh.”

***

Setelah semua anggota keluarga mandi, aku mengambil tangan suami dan salim. Anakku mengikuti untuk salim kepada bapaknya. “Yuk, kita mau makan dulu atau salat dulu aja?” tanyaku kepada suami dan anakku.

“Tuh kan mama gitu deh, tadi katanya habis tunggu Papa mandi, kita makan. Kok sekarang jadi salat dulu?” Protes anakku.

“Ya kan mama tawarin lagi.” Jawabku menyangkal. Kulihat pakaian tidur anakku berwarna abu-abu tua berlambang kelelawar. Warna abu tua melambangkan keseriusan dan erat dikaitkan dengan disiplin dan penyangkalan diri. Persis dengan kalimat yang baru saja aku lontarkan.

“Ya sudah kita makan dulu nanti baru salat magrib berjamaah ya?” Suamiku merespon dengan bijak sambil bertanya kepada Nino. Lalu Nino mengangguk setuju sambil teriak “yeiy …”

Usai makan malam, kami salat magrib berjamaah.

“Kita tunggu azan isya ya. Sebentar lagi, nih.” Ujar suamiku.

Nino menaruh kepalanya di atas paha suamiku. Ia memainkan jari-jarinya dan merangkainya berbentuk seperti burung, kalajengking dan kacamata.

Tidak berapa lama, azan isya berkumandang. Kami salat isya berjamaah.

Usai salat Isya, Nino berkata, “Pa, PR ku sudah selesai semua, dong.”

“Wah bagus itu. Papa mau lihat dong.”

Nino lalu menarik tangan bapaknya dan menuntunnya ke kamarnya.

“Nino, ini ada satu langkah perkalian yang belum ditulis.”

“Tapi kata mama sudah benar.”

“Iya ini kurang satu langkah lagi aja. Dikoreksi dulu ya.”

“Tuh, mama gimana sih. Tadi periksanya ga bener berarti.”

“Oh iya, mama tadi ada yang terlewat. Tapi hasil perkaliannya bener kok Nak.” Responku sambil tersenyum malu.

“Iya, tapi aku jadi ulang lagi nih, kurang satu baris untuk perkalian yang ini.” Jawab Nino sambil menunjukkan angka di bukunya.

“Nah, sudah benar semua deh. Sekarang Nino siapkan seragam dan buku pelajaran untuk besok ya. Lalu siap-siap tidur.” Suamiku berkata dengan nada sabar.

“Kapan mainnya?” Tanya Nino lantang.

“Kan Nino sudah seharian main terus, ini waktunya istirahat.” Responku sambil membuka lemari pakaiannya agar ia mudah memilih seragam sekolah.

“Aku seharian main sendiri. Mama meeting terus di kamar!” Ujarnya dengan nada kesal.

“Iya, kan mama kerja. Nino ngerti juga, dong. Ini sudah malam. Akhir pekan kita main bareng ya.” Jawabku kencang.

"Bicaranya jangan keras-kerang dong, Ma!" Nino menunjukkan respon tidak senang. 

Pikiranku makin kusut dengan percakapan yang tidak enak malam ini. Suara rengekan Nino menambah kusutnya pikiranku.

Aku mematikan lampu kamar Nino. Suamiku masih di dalam kamar. Ia bilang mau menemani Nino hingga terlelap. Aku kecup kening Nino sambil membisikkan, “Tidur yang nyenyak ya, Sayang. Mimpi Indah. Maafin tadi suara Mama terlalu keras.”

Aku beri kode ke suamiku kalau aku mau langsung tidur juga di kamar. Suamiku mengangguk.

Merebahkan badan setelah seharian bekerja itu terasa nikmat sekali. Pikiranku masih dipenuhi suara-suara yang bergantian hadir. Suara permintaan proyek dari anak perusahaan, suara sekretaris bos untuk program launching yang dimajukan, suara rengekan Nino yang tidak puas bermain dengan orang tuanya. Kuarahkan jari tengah untuk mengetuk dahiku.

Aku pusing.

Aku ingin menghilangkan suara-suara yang hadir memenuhi pikiranku. Tapi aku tak bisa menghilangkannya. Suara-suara itu tetap tinggal di pikiranku. Sulit sekali dihilangkan. Sulit sekali untuk berpikir tenang saat ini.

 

---bersambung---

 

#Writober2021

#RBMIPJakarta

#suara

#cerpen

#BulanKesehatanMental

Comments

Popular posts from this blog

Janji Surya

Bagian 1. Abu Muda

Bagian 4. Kuning