Posts

Showing posts from 2021

Bagian 10. Cahaya

Image
Pixabay Pagi ini suasana kantor lebih ramai dari biasanya. Beberapa orang yang tidak giliran work from office minta ijin masuk kantor karena persiapan beberapa agenda. Sama halnya dengan diriku. Pekan depan adalah puncaknya dari semua rentetan kesibukan. Aku, yang awalnya merasa tidak mampu dan penuh dengan pikiran ketidakberdayaan, ternyata bisa melaluinya hingga saat ini, sudah hampir delapan puluh persen tercapai. Sementara suamiku, memang masih butuh beberapa koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Setidaknya, bosnya tidak memberi sinyal tentang PHK. Dari perjalanan ini, kami belajar untuk menerima kondisi yang tidak baik-baik saja, berbagi pikiran dan perasaan, menyadari bahwa aku dan suamiku punya cara berbeda dalam mengutarakan keresahan.   Pada akhirnya, Tuhan berharap munculnya derana dalam diri kita, yaitu tidak putus asa. Nyalakan terus cahaya untuk membakar semangat kita. Persoalan pasti ada, dan dalam situasi itulah kita melatih diri menjadi pribadi yang lebih baik. In

Bagian 9. Pelangi

Image
Pixabay Bagian 9. Begitu bangun di pagi hari, suamiku berkata, “ My love , aku awalnya takut mau cerita ke kamu soal masalahku. Soalnya taruhannya adalah aku bisa kehilangan pekerjaannku. Parahnya, aku tahu itu semua karena kecerobohanku, aku kurang hati-hati ketika menangani proyek itu. Jujur ya, melihatmu tenang setelah aku cerita, aku juga jadi lumayan tenang. Sekarang aku makin berani untuk bicara sama Bu Ros.” Aku pikir suamiku sudah cerita dengan atasannya. “Hal yang paling buruk terjadi karena kesalahanku adalah aku ga punya kerjaan, ga punya penghasilan. Dan yang pasti akan terdampak adalah keluargaku. Jadi, kalau kamu merasa tenang, aku jadi lebih siap info ke Bu Ros.” Suamiku melanjutkan bicaranya seolah bisa membaca pikiranku. “Semakin cepat kamu info Bu Ros akan semakin baik. Jangan sampai Bu Ros malah tahu dari orang lain kan.” “Iya betul. Makasih ya. I love you.” “I love you, too.” *** Ketika menyiapkan makan siang untuk Nino, ponselku berbunyi. Ada pesan dari suamiku. “A

Bagian 8. Biru Muda

Image
freepik.com   Bagian 8. Suamiku tidur lebih awal. Aku menatap wajahnya yang sedang terlelap. Memang tidak mudah menjadi kepala keluarga yang harus memastikan anggota keluarganya hidup nyaman. Sebagai pemberi nafkah di keluarga ini, hatinya pasti cemas karena kesalahan yang dia lakukan di kantor, dapat membuatnya diberhentikan dari pekerjaan saat ini. Ya, Allah, semoga engkau memberikan petunjuk. Bantulah kami agar bisa keluar dari permasalahan yang sedang menimpa kami. Engkau sebaik-baik penolong. Aku meneguk air yang ada di dekatku. Menyadari diri sedang kelelahan dan mencari sumber untuk menghilangkan rasa lelah, ibarat minum air ketika kehausan, begitu melegakan. Air menjadi sumber kehidupan umat manusia.  Aku pegang gelas berisi air mineral yang baru saja aku minum, aku berharap kita bisa melewati ini dengan tegar. Semoga semuanya baik-baik saja. Sesuai arahan psikolog, aku harus rutin melakukan slow breathing. Aku pejamkan mata sambil membayangkan diriku ada di tepi pantai.

Bagian 7. Biru Tua

Image
Bagian 7.   Aku ambil gelas berisi air mineral di dekat tempat dudukku dan meneguknya. Selama sesi konsultasi dengan psikolog, aku terlalu serius menyimak hingga tak sempat minum seteguk air. Aah, lega sekali. Rasa lega yang sama setelah aku bercerita tentang apa yang membuat pikiranku penuh beberapa hari belakangan. Bercerita ibarat membuka sumbatan-sumbatan yang selama ini menumpuk di kepalaku. Wajahku tersenyum karena kepalaku terasa lebih ringan. Suasana kantor semakin sepi. Jam menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit. Aku bersiap untuk pulang. *** Begitu tiba di rumah, aku mendapati suamiku sudah sampai lebih awal dan sedang mendampingi Nino mengerjakan PR. Aku memberikan senyum terbaikku kepada keduanya. “Gitu dong, Ma. Kalau pulang kantor senyum kan enak dilihatnya.” Ucap Nino. “Biasanya juga Mama senyum, kok.” Aku merespon sambil melebarkan senyumku. “Udah lebih lega ya, my love ?” Tanya suamiku berbisik. “Alhamdulillah. Tadi aku habis sesi dengan psik

Bagian 6. Hijau

Image
Bagian 6. freepik.com Aku menutup telepon dengan perasaan lega. Percakapan sore ini dengan psikolog membuatku belajar untuk memberi jeda bagi hidupku sendiri. Pesona yang dipancarkan psikolog melalui diskusi sore tadi mengajakku untuk lebih mengendalikan pikiran, bukan pikiran yang mengendalikanku. Psikolog bicara dengan tenang dan lembut, sesekali ia bertanya dengan pertanyaan yang membuatku berpikir jauh ke belakang tentang nilai-nilai yang aku yakini. Ia juga menyelipkan tawa agar aku tidak menjadikan masalah hidupku sebagai beban berat, melainkan perbekalan untuk jiwa yang lebih kuat.  Teknik  Slow breathing  yang ia ajarkan membantuku untuk menata pikiran yang penuh di kepalaku. Harusnya aku melakukan ini sebelum tidur, sesuai apa yang dipinta psikolog. Namun sesaat setelah telepon ditutup, aku tak sabar untuk langsung mempraktikannya. Aku kunci ruangan dan duduk membelakangi pintu. Dengan begitu, orang yang ingin masuk ke ruanganku akan melihat bahwa aku sedang fokus dan tidak

Bagian 5. Jingga

Image
Bagian 5. Foto : Freepic.com Aku bangun tidur dengan pikiran kusut dan perasaan lelah. Entah kenapa aku tidak merasa segar dan kurang bersemangat. Meski demikian, aku tetap menjalankan rutinitas pagiku. Menyiapkan sarapan untuk suami dan anak, memasak nasi untuk santapan hari itu, dan aku juga sempat mencuci pakaian. Usai menekan tombol start yang ada di mesin cuci, aku segera mandi. Tak lama, aku dengar azan subuh berkumandang. Aku membangunkan suami dan anakku dengan mengetuk pintu kamar lalu bergerak menuju dapur untuk menyiapkan teh.   “Jam berapa, Ma?” Tanya Nino setengah teriak. “Sudah mau jam 5, Nak. Ayo kita salat subuh berjamaah.” Jawabku sambil mencuci piring. Suami dan anakku mendekat. Mereka menggelar sajadah. Kami langsung salat berjamaah. Usai salat, aku mendengar suara dari mesin cuci yang menandakan proses mencucinya sudah selesai. Aku langsung menuju ruang jemuran untuk menjemur pakaian. Waktu yang kubutuhkan sekitar 15 menit untuk menjemur pakaian. Setelahnya, aku be

Bagian 4. Kuning

Image
www.freepik.com   Bagian 4. Aku menghembuskan napas panjang sambil merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. “Capek, my love ?” Tanya suamiku lembut. “Banget!” Jawabku singkat sambil menggerutu. “Alhamdulillah Nino mau tidur cepat malam ini, jadi aku masih berasa punya waktu untuk istirahat panjang.” Lanjutku. “Tadi dia merengek terus, adaa aja yang kurang. Sekolahnya juga main-main terus. Disuruh mandi susah banget.” Curhatku kepada suami. Suamiku menyimak dan tidak sedikit juga memotong pembicaraanku. Ia mendengarkan tanpa interupsi. Ketika aku sudah tidak lagi berkata-kata. Suamiku baru merespon, “Sabar, ya. Nino itu lagi butuh perhatian. Dia tahu ibunya lagi enggak enak hati, jadi dia suka ikut-ikutan rungsing juga.” Suamiku menenangkan sambil menepuk bahuku. Aku mengatur posisi bantal agar lebih nyaman untuk kepalaku. Aku tidur menghadap arah kanan. Suamiku hanya bisa melihat punggungku dan mengusap-usap punggungku dengan lembut. Dia tahu sekali aku paling merasa ten

Bagian 3. Hitam

Image
  Bagian 3. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan 80 km/jam. Tangan kanan dan kiriku memegang setir mobil. Ada pensil alis yang kusisipkan di tangan kiriku. Begitu lampu merah, aku mengambil pensil alis dan menggunakannya untuk merapikan alis. Selesai membentuk alis, aku taruh pensil alis itu ke dalam tas make up. Aku merogoh ke dalam tas tersebut untuk mengambil lipstick. Lampu Hijau sudah menyala, aku belum juga menemukan lipstick yang ku maksud. Terpaksa aku melajukan kembali mobilku. Sepanjang perjalanan, tangan kananku memegang setir dengan kuat sementara tangan kiriku masih berusaha merogoh ke dalam tas make up untuk mencari lipstick . Begitu tangan kiri sudah memegang sebuah benda berbentuk tabung, jempol kiriku bergerak untuk memastikan teksturnya sudah benar. Aku angkat tangan kiri beserta benda yang tergenggam di sana, begitu aku menoleh ke kiri, rupanya yang ku ambil adalah mascara. Aku kaget dan spontan menginjak rem mobil sambil banting setir ke kiri. Ketika itu juga

Bagian 2. Abu Tua

Image
Bagian 2. Nasihat Ibu ketika aku kecil lalu lalang di pikiranku. Suara sang Ibunda hadir memenuhi pikiran. “Kamu itu anak pertama, nggak boleh cengeng.” “Kamu itu contoh buat adik-adikmu, jadi kamu harus tunjukkan yang terbaik.” “Ibu yakin kamu pasti bisa jadi yang terbaik. Kamu harus bisa mengalahkan keraguan dalam dirimu.” “Mama kok bengong?” Pertanyaan anakku membuyarkan lamunanku. “Mama lagi mikirin menu untuk makan malam. Kamu lagi mau makan apa?” “Telor!” jawabnya bersemangat. “Ok deh, mama buatkan telor sekalian untuk papa juga ya. Kamu mandi dulu, sudah hampir magrib.” Responku ke anak kelas 3 SD ini. Aku hanya ceplok telur dan menaburkan bumbu kecap di atasnya. Aku kupas kulit ketimun dan memotongnya untuk teman makan malam. Bertepatan dengan azan magrib berkumandang, suamiku pulang. Usai memarkirkan mobil di garasi, ia langsung masuk rumah. “Sebentar dulu, Mas. Aku belum siapkan handuk dan pakaianmu di kamar mandi. Jangan masuk rumah dulu ya.” Ucapku s

Bagian 1. Abu Muda

Image
Bagian 1. “Hi Mbak, gimana kabarnya?” Ada pesan muncul di layar ponselku melalui aplikasi whatsapp. Deg. Perasaanku tidak enak. Seorang pemimpin dari anak perusahaan tempatku bekerja menghubungiku. Saat itu waktu menunjukkan pukul 16.10. Aku baru saja selesai salat asar. “Alhamdulillah baik. Ibu gimana kabarnya? Ada yang bisa dibantu?” “Syukurlah Mbak kalau baik-baik saja. Saya juga sehat. Saya mau info soal proyek yang waktu itu, tentang organisasi. Itu enggak jadi dilakukan tahun depan, Mbak. Manajemen minta proyeknya selesai di tahun ini juga. Minta bantuan banget dari kantor pusat ya.” “Oh, begitu. Wah mepet sekali ya. Sepertinya enggak mungkin kekejar. Akhir tahun begini, paling waktu efektifnya tidak sampai dua bulan ...” Spontan aku respon dengan mengetik cepat sambil bola mataku berputar kesana kemari. Jari jempolku terpaku di atas tombol send . Aku tekan tombol back. Semua pesan aku hapus. Rasanya tidak elok aku merespon seperti itu. Pesanku mewakili bagaimana kantor pusat mer