SELENDANG IJAS NYAI




Penulis : Arina - Ima - Yena- Faizah - Ellen - Lathifah - Leila - Isya

Cahaya langit kian redup, perempuan tua berselendang ijas itu dengan lembut mengusap nisan di depannya.


Nyai, begitulah mendiang suami memanggilnya. Tiga puluh tahun berlalu, tak pernah satu Jumat pun ia lewatkan untuk berziarah.


"Nyai rindu, Kang, ingin cepat bertemu, tunggu Nyai," ucapnya lirih sambil menaburkan bunga. Jika sebuah pertemuan dengan sang suami bisa dibeli, mungkin seluruh hartanya 'kan ia taruhkan, siapa pun yang menatap matanya akan tahu, ada rindu tak bertepi di sana. 


Awal menikah, suaminya pernah memberikan selendang ijas yang kini menemani hari-harinya selepas kepergian suami. Keanggunan yang terpancar, tatapan yang dalam adalah alasan sang suami memberikan selendang berwarna ijas, sebagai tanda kekuatan kepribadiannya. 


"Ingat, Nyai, pakailah selendang ini saat keluar rumah, dan jangan pernah kamu berikan pada siapa pun." Amanah suaminya itu tak pernah ia lupakan.

**

Desir angin malam sungkan ditepis. Semilirnya menyamarkan suara langkah kaki, yang sejak tadi mendekat kepada sosok yang berusaha berdiri tegak sambil menggendong kumpulan ranting. Nyai yang sesekali menyibakkan selendangnya merasakan suasana yang berbeda pada malam itu.


Entah sejak kapan ada sepasang mata yang mengawasinya, berada di antara pohon tinggi saat ia menebang ranting. Langkah kaki yang menginjak daun-daun kering pun perlahan semakin jelas. Embusan napas yang semakin berat pun terdengar jelas di telinga.


Auuuu ....


Sosok bayangan itu hilang seketika bersamaan dengan suara anjing melolong di tengah hutan.

**
Raga renta Nyai terbaring di atas dipan usang. Usai kejadian mencari ranting malam itu, ia ditemukan tanpa nyawa oleh salah satu penduduk kampung. Kini jasadnya tengah dimandikan oleh Ni Sari, wanita paruh baya yang dipercaya penduduk desa untuk menangani pengurusan jenazah, dibantu beberapa kerabat.


Tak ada satu pun lebam atau luka pada tubuh Nyai. Kepergiannya menghadap Yang Mahakuasa meninggalkan tanda tanya di benak keluarga dan tetangga.


Usai memandikan, Ni Sari dengan telaten mendampingi jasad Nyai yang kini siap dikafani. Hingga saat itu, belum ada hal aneh yang terjadi. Sampai akhirnya air mata menetes dari kedua mata Nyai.


Ni Sari menyeka air mata tersebut. Kejadian yang sudah lazim bagi Ni Sari karena tak jarang jenazah lain menitikkan air mata ketika prosesi pemandian. Bukannya berhenti, air mata yang menetes malah semakin banyak. Ni Sari mulai bingung dan pelayat yang datang mulai bertanya-tanya, apakah masih ada yang mengganjal di hati Nyai. Bukankah seharusnya Nyai bahagia karena bisa menyusul suaminya yang sudah lama berpulang terlebih dahulu. 


Seakan menjawab pertanyaan pelayat, terlihat senyuman di bibir Nyai yang sudah biru membeku. Ternyata dalam tidurnya, Nyai berada di tempat yang sangat indah, tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.


Hatinya terasa tenteram melihat beningnya aliran air sungai dan mendengar merdunya suara burung berkicau. Dari kejauhan Nyai melihat sosok suaminya begitu menawan melambaikan tangannya. Nyai menyusuri tepi sungai dengan langkah setengah berlari untuk segera memeluk sang suami. 


Dalam perjalanan itu, ia melihat selendang ijas yang biasa melekat di tubuhnya melayang di udara. 


“Ah iya, hampir saja selendang ini terbawa angin,” ucap Nyai dalam hati.


Sesaat setelah ia menggapai selendang itu, matanya terbelalak. Lima orang berteriak histeris di hadapannya yang tanpa busana dan Nyai kaget melihat dirinya tergeletak lemas di pemandian jenazah. Cuplikan surgakah yang sempat dilihatnya tadi?


Nyai masih heran dengan yang baru saja terjadi, mengapa semua orang berteriak histeris dan ia dalam keadaan tak berpakaian? Ia pun ingat dengan selendang ijasnya, ke mana selendangnya yang baru saja ia gapai di tempat indah tadi?


"Asiiih, mana selendangku?" ia memanggil anaknya, meminta selendang ijas yang ia cintai.


Anaknya yang masih kaget karena Ibunya hidup kembali, segera mengambilkan pakaian dan selendang ijasnya.


"Asih, ingatkan aku untuk terus pakai ini, ya!"


Pagi hari Nyai kembali mencari ranting, karena sudah tua, Nyai terlupa akan selendang ijasnya dan anaknya pun sengaja tak mengingatkan untuk memakai selendangnya. Baru sekitar 50 meter Nyai pergi dari rumah, tiba-tiba "bruuk!" darah merah mengalir dari kepala dan badan Nyai.


Orang-orang segera berdatangan membantu. Karena sudah tidak ada tanda kehidupan lagi, semua sepakat untuk memakamkan Nyai. Namun, "Selendangku!" 


Mendadak mata Nyai terbuka lagi seiring dengan keluarnya seruan tersebut dari mulutnya ketika keranda akan diusung. Asih tergopoh mencari selendang ijas yang lalu ia selimutkan ke jasad ibunya. Benar saja, pemakaman berjalan lancar. Asih baru memisahkan selendang ijas menjelang tanah diuruk, baginya pamali menyimpan benda seperti itu di liang lahat. Disuruhnya seorang tetangga meletakkan selendang ke dalam kotak dan menguburkannya di tempat terpisah.

**
Sesosok perempuan sedang menggali tanah demi tanah. Matanya terus mengawasi sekeliling, memastikan hanya ada dirinya di kebun tebu ini. Deru nafasnya memburu, senyumnya melebar, dan matanya semakin membesar melihat semburan kotak dari tanah yang ia gali.


Setelah dua jam bersimpuh di atas tanah, kini punggung tangannya mengusap butir keringat di dahinya. Ditatapnya langit, ia tertawa tertahan sambil kedua tangan menutup mulutnya. Ketika awan yang menggelayuti purnama menghilang, cahaya menerangi Sang Perempuan dan isi kotak. Mata yang membesar penuh kegembiraan surut dan senyuman kemenangan pun menghilang. Selendang ijas Nyai tak nampak di dalam kotak, ia telah raib.

Comments

Popular posts from this blog

Janji Surya

Bagian 1. Abu Muda

Bagian 4. Kuning